Blogger Widgets

Senin, 11 Mei 2015

makalah KUA

KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kepada dzat yang maha mengatur segala urusan. Shalawat dan Salamnya senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasululloh sollallohu 'alaihi wa sallam. selanjutnya, kami haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak H. Wahidin, S.Ag., M.Pd.I. selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami dan menyampaikan materi pelajaran pada mata kuliah Manajemen Administrasi KUA di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis, semoga ilmu yang kami dapatkan bermanfa'at dan penuh dengan keberkahan.
Makalah yang kami susun ini, disampaikan sebagai salah satu tugas mata kuliah Manajemen Administrasi KUA Semester IV. Tentunya dalam penyajian makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami harapkan kritik dan saran untuk perbaikannya.



Ciamis,  Maret 2015

                                                                      Penyusun








DAFTAR ISI
















BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar belakang

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan kelembagaan yang penting dalam konteks manajemen pengembangan umat Islam Indonesia.KUA merupakan lembaga di Kementerian Agama tingkat kecamatan yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat Muslim.Kantor inilah yang memberikan pelayanan kepada umat Islam dalam urusan perkawinan dan pembinaan keluarga Muslim agar menjadi keluarga sakinah. Di samping itu, kantor ini –bersama-sama dengan Pengadilan Agama sebagai partner– juga memberikan pelayanan talak, rujuk, dan masalah waris. Bahkan masalah pembinaan umat secara umum, kantor ini memiliki kewenangan untuk terlibat, seperti ibadah haji, pendidikan agama dan keagamaan, serta kerukunan umat beragama. Dilihat dari posisinya yang demikian, dapat diperkirakan bahwa kedudukan KUA sangat strategis dalam pembinaan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim secara luas.

Dewasa ini jumlah KUA yang tersebar di sejumlah kecamatan di Indonesia sebanyak 5.035 buah.Jumlah tersebut telah mengalami pemekaran sejalan dengan pemekaran kecamatan.Seperti diketahui Kementerian Agama telah melakukan dua kali pemekaran KUA.Pertama, pada tahun 2006 Kementerian Agama membentuk 149 KUA kecamatan.Hal ini sesuai dengan Keputusan Menpan Nomor B/1358/PAN/05/2006.Kedua, pada tahun 2007 Kementerian Agama membentuk 175 KUA Kecamatan, dengan persetujuan Menpan No. B/2143/M.PAN/09/2006. Dengan pemekaran tersebut jumlah KUA mencapai angka yang telah disebutkan.Sebenarnya, usulan pemekaran KUA masih banyak.Akan tetapi, sampai sejauh ini hanya 324 yang dapat dipenuhi.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Administrasi pencatatan Akta Nikah ?
2.      Bagaimana Alur Berkas Pendaftaran Nikah ?
3.      Bagaimana Model – Model Berkas Pernikahan ?

C.     Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Bagaimana Administrasi pencatatan Akta Nikah ?
2.      Mengetahui Bagaimana Alur Berkas Pendaftaran Nikah ?
3.      Mengetahui Bagaimana Model – Model Berkas Pernikahan ?























BAB II
PEMBAHASAN


A.     Administrasi Pencatatan Akta Nikah

Sebagaimana diketahui berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan dalam pasal 2 ayat (2): Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain perkawinan disebut sah bila dicatat oleh negara. Bagi umat Muslim pencatatan perkawinan dilakukan oleh KUA. Hal ini juga ditegaskan dalam Peraturan Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebuah produk hukum yang sering dijadikan referensi hukum bagi KUA Muslim Indonesia. Amanah peraturan ini semakin menambah peran KUA lebih strategis dalam memberikan layanan kepada masyarakat atau sering dikenal dengan layanan publik.
Untuk lebih meningkatkan pelayanan, sejak beberapa tahun terakhir ini Kementerian Agama menekankan pentingnya standar pelayanan kepada masyarakat oleh KUA, yang disebut dengan pelayanan prima. Pelayanan prima harus menjadi tujuan dan target dari para pejabat KUA. Sebagai institusi yang langsung berhubungan dengan masyarakat, KUA diharapkan dapat memberikan pelayanan memuaskan.Pelayanan prima oleh pemerintah, termasuk KUA merupakan bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governace).Selain itu, pelayanan prima juga merupakan tuntutan dari perubahan global terhadap institusi-institusi publik tersebut.Pelayanan prima menjadi tolok ukur keberhasilam instansi-instansi pemerintah dalam melayani stakeholder-nya.Kegagalan institusi dalam memberikan pelayanan terbaik, berarti mengindikasikan adanya kesalahan manajerial.
Dalam hal pelayanan publik pencatatan perkawinan tantangan yang sedang dihadapi oleh KUA adalah menepis tuduhan yang menyatakan bahwa biaya pencatatan nikah mahal.Sehingga, tidak setiap kelompok masyarakat dapat menjangkaunya.
Sementara pihak KUA`menyatakan bahwa biaya pencatatan nikah dan rujuk – biasa disingkat NR – secara formal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2000 dengan besaran Rp 30.000,00 per peristiwa. Uang yang masuk dari masyarakat ini dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan dan harus disetor seluruhnya ke kas negara. Atas izin Menteri Keuangan, setoran yang masuk dapat digunakan kembali oleh Kementerian Agama dalam hal ini KUA maksimal 80%.
Biaya pencatatan NR yang ditetapkan dalam PP tersebut adalah biaya pencatatan atas peristiwa NR yang terjadi di KUA, sedangkan biaya pencatatan peristiwa yang dilangsungkan di luar KUA (biasa disebut dengan “bedolan”) tidak diatur dalam PP tersebut.Di sinilah mulai muncul persoalan. Biaya bedolan, selama ini diatur oleh kepala Kanwil Kementerian Agama provinsi dengan persetujuan gubernur yang nominalnya tentu berbeda antara satu daerah satu dengan daerah lain. Kewenangan pengaturan ini ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 298 Tahun 2003. Menindak-lanjuti peraturan tersebut, selanjutnya melalui Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 2004 tentang Peningkatan Pelayanan pada KUA dinyatakan bahwa KUA kecamatan tidak diperbolehkan memungut biaya tambahan terhadap biaya bedolan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Belakangan, oleh aparat pengawas biaya ini dipersoalkan, karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, alias liar. Oleh karena itu, maka Kementerian Agama- saat itu masih disebut Departemen Agama- melalui Keputusan Menteri Agama RI No. 104 tahun 2007 tentang Pencabutan Instruksi Menteri Agama No. 2 tahun 2004 telah mencabut semua biaya tambahan untuk pencatatan perkawinan kecuali yang diatur oleh PP no. 51 tahun 2000 dan ditegaskan kembali dengan PP no. 47 tahun 2004 yakni sebesar Rp. 30.000,-
Regulasi ini mengundang kontroversi. Bagi mereka yang setuju dengan masih diperbolehkannya biaya bedolan menyatakan bahwa dana bedolan itu amat diperlukan selain untuk biaya transport yang hendak menikahkan sepasang mempelai di luar balai nikah KUA, dana bedolan sangat membantu kepentingan umat, terutama untuk biaya operasional lembaga-lembaga yang secara non struktural berada di KUA, yakni Badan Kesejahteraan Masjid, Lembaga Pembinaan Pengamalan Agama, Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian atau BP4, dan Badan Administrasi Dana Kerohanian Islam.
Mengapa sampai terjadi peristiwa bedolan? Ini karena permintaan masyarakat itu sendiri yang menghendaki adanya pernikahan di luar kantor (KUA), bahkan di luar hari kerja. Untuk mengawasi dan mencatat peristiwa nikah sesuai tugas dan fungsinya, PPN atau pembantu PPN memerlukan tambahan transport dan biaya-biaya lainnya.Oleh aparat pengawas, pungutan-pungutan inilah yang dinilai liar dan perlu ditertibkan.Alasannya, karena pemungutan ini tidak memiliki payung hukum yang memadai. Kenyataan inilah yang kemudian melahirkan pendapat bahwa biaya pencatatan nikah harus dikembalikan pada regulasi yang ada yakni sebesar Rp.30.000,-, bahkan bila memungkinkan biaya harus ditanggung oleh negara, sebagai bentuk pemenuhan hak sipil bagi setiap warga negara.
Berbagai kepentingan di atas mensiratkan bahwa ada yang tidak linear antara norma (regulasi) dan kebutuhan, antara idealisme dan kenyataan di lapangan, antara kemampuan keuangan negara dan peningkatan pelayanan. Persoalan ini yang kemudian diangkat dalam sebuah penelitian oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta pada tahun 2011 di berbagai wilayah: Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

B.     Realitas Di Lapangan

• Besaran biaya

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, biaya pencatatan nikah adalah sebesar Rp. 30.000 (tiga puluh ribu rupiah). Jika disesuaikan dengan kondisi saat ini tentulah sudah tidak memadai apalagi bila peristiwa nikah ini dilaksanakan di luar balai nikah (LBN), dan dalam waktu di luar jam kerja.

Kepala KUA atau penghulu menghadapi dilema dalam hal penetapan biaya pencatatan nikah ini.Di satu sisi, KUA ingin memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sehingga masyarakat pengguna KUA selain mendapat pelayanan tepat waktu saat pencatatan nikah, juga saat penyerahan buku akta nikah.Namun, di sisi lain Kepala KUA dan penghulu menghadapi kendala dalam hal biaya operasional terutama biaya transportasi menuju tempat berlangsungnya pernikahan.

Selama ini, anggaran operasional KUA yang diperoleh dari DIPA Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah perbulan) dan tidak ada alokasi untuk biaya transportasi, sehingga bila masyarakat pengguna tidak memberikan biaya tambahan di luar biaya pencatatan sebesar Rp. 30.000,- tentu saja biaya transportasi harus ditanggung sendiri oleh Kepala KUA atau penghulu. Selain itu, Kepala KUA atau penghulu tidak memperoleh kompensasi atas waktu dan tenaga yang dicurahkan dalam melayani masyarakat di luar kantor dan di luar jam kerja. Kenyataan seperti ini tentu akan mempengaruhi kinerja penghulu atau kepala KUA.

Pada hampir semua KUA sasaran, kepala KUA pada prinsipnya tidak pernah memasang tarif biaya pencatatan nikah di luar pungutan resmi sebesar Rp.30.000,-. Bila ada masyarakat yang memberi lebih dari tarif tersebut lebih karena keikhlasan dan kesadaran masyarakat pengguna. Dari sisi logika, dana Rp.30.000 –ini pun harus disetor ke kas negara sebagai PNPB- tidak cukup dapat mengantarkan penghulu atau kepala KUA tiba di tempat mempelai yang sedang berhajat. Karena, biaya transport yang harus dikeluarkan dari tempat kedudukan KUA hingga mencapai tempat dilangsungkan nikah rata-rata membutuhkan Rp.50.000,-

Untuk mengatasi hal ini, masyarakat dengan penuh kesadaran memberikan biaya tambahan untuk menutup ongkos transportasi. Besarannya cukup bervariasi antara Rp 100.000 hingga Rp.500.000,-, namun pada kasus tertentu mungkin jumlahnya melebihi angka tersebut. Seperti ditemukan di kota Banda Aceh, terutama bagi masyarakat yang menggunakan jasa orang lain untuk pengurusan persyaratan administratif. Di kota Medan orang yang biasa melakukan jasa ini dikenal dengan istilah kepling (kepala lingkungan).

Hal yang sama juga pada KUA di sebuah kecamatan di kota Pekanbaru, yang pernah menerima uang Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dari salah seorang masyarakat. Uang sebesar ini pun tidak digunakan untuk kepentingan pribadi saja, melainkan juga dikontribusikan ke kas KUA untuk menutup kegiatan operasional KUA. Seperti diketahui, sebagaimana diatur dalam pasal 2 KMA no. 477 tahun 2004, tugas kepala KUA meliputi: 1) menyelenggarakan statistik dokumentasi, 2). Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan dan rumah tangga KUA, 3). Melakukan pembinaan kepenghuluan, keluarga sakinah, ibadah sosial, pangan halal, kemitraan, zakat, wakaf, ibadah haji dan kesejahteraan keluarga, 4) mengatur pola kerja penghulu yang berada di lingkungan wilayah kerjanya. Selain untuk membantu operasional KUA, uang tersebut disimpan sebagai tabungan yang dapat digunakan sebagai uang THR pegawai.

Besaran biaya yang diberikan oleh masyarakat mungkin terkesan “mahal”, padahal biaya tersebut tidak hanya untuk ongkos transportasi saja, melainkan juga kompensasi bagi petugas karena telah menggunakan waktu libur untuk melayani masyarakat. Biaya yang diberikan oleh masyarakat tersebut juga sebagian sebagai “uang lelah” petugas yang telah memberikan khutbah nikah, memimpin upacara serta menutupnya dengan doa. Untuk sekedar diketahui, dalam tradisi dan adat Melayu Riau, upacara adat pernikahan dirasa tidak afdol bila tidak dihadiri oleh petugas KUA dari awal hingga akhir prosesi.

Temuan menarik juga diperoleh di Bogor, bahwa variasi besaran tarif pencatatan nikah sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat.Dalam hal ini ada beberapa tipologi kelas sosial masyarakat.Besarannya banyak ditentukan oleh P3N di lapangan.

P3N adalah sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.Mereka biasa melakukan pendekatan kepada keluarga-keluarga calon pengantin (Catin) untuk menawarkan jasa sekaligus menentukan besaran biaya pengurusan pernikahan di KUA setempat.

Di wilayah yang taraf kehidupannya di bawah rata-rata (menengah kebawah) biaya pendaftaran nikah berkisar Rp 300.000.- s.d. Rp.400.000,-. Sedangkan di wilayah yang taraf sosial tergolong di atas menengah, biaya tersebut berkisar antara Rp. 400.000,- s.d. Rp. 800.000,- bahkan bisa mencapai jutaan rupiah. Bagi masyarakat bawah, seperti pedagang buah, tukang parkir, pengojek, pedagang kue, tukang sayur, besaran biaya 300 ribu rupiah, mereka akui, sebenarnya agak memberatkan. Sementara bagi kalangan ”atas” seperti keluarga-keluarga yang berprofesi sebagai pengusaha menegah ke atas, dan sebagainya, besaran biaya pencatatan nikah Rp. 1.000.000,- an tidak dimasalahkan.

Realita yang hampir sama yang menyebutkan bahwa terdapat tarif pencatatan nikah yang tidak sama dengan yang diatur dalam regulasi ditemukan di dua KUA di kecamatan Sumatera Selatan. Yakni, bahwa biaya pencatatan nikah bila dilaksanakan di KUA besarnya Rp.350.0000 sedangkan bila dilakukan diluar balai nikah KUA sebesar Rp. 500.000,-

Sementara di wilayah DKI Jakarta, ditemukan bahwa pencatatan nikah berada dalam rentang Rp.150.000 – Rp.1.000.000,-. Jumlah ini diperuntukkan tidak saja untuk biaya administrasi, tetapi juga sebagai “uang kerahiman”, yakni kompensasi biaya transportasi serta uang lelah, karena biasanya pernikahan dilakukan di luar jam kerja. Pada saat pelaksanaan pernikahan, tugas penghulu tidak sekedar mencatat peristiwa nikah, namun juga melakukan layanan tambahan, seperti memberikan khutbah nikah, pembacaan doa, hingga menutup acara.

Uang kerahiman, tidak semata-mata diterima oleh penghulu/ pencatat nikah, namun pada kala tertentu “disumbangkan” ke kantor untuk “menambal” biaya operasional KUA yang selalu mengalami defisit setiap bulannya. Jika melihat tupoksi KUA yang sangat banyak, dana operasional Rp.1.000.000/bln memang kurang memadai, belum lagi bila ditambah dengan tugas-tugas lain di luar tupoksi yang anggarannya tidak tercantum dalam DIPA.

C.     Alur Berkas Pendaftaran

  Calon Pengantin datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan masing-masing, untuk      mendapatkan:
a.   Konsultasi Pendaftaran
      b.   Meminta dan Mengisi blangko model N1, N2, N3, N4, N5, N6, dan N7
      c.   Surat-surat lain yang dibutuhkan
  2.  Calon Pengantin Wanita Datang ke Bidan atau Puskesmas Untuk Imunisasi TT
  3.  Calon Pengantin Datang ke Kantor Desa atau Kelurahan untuk mengesahkan:
a.  Surat keterangan untuk kawin (N1)
b.  Surat keterangan asal usul (N2)
c.  Surat persetujuan calon mempelai (N3)
d.  Surat keterangan tentang orang tua (N4)
e.  Surat keterangan suami atau istri (6) bagi duda/janda yang ditinggal mati
  4.  Calon Pengantin bersama wali Datang Lagi ke Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi dengan membawa berkas-berkas persyaratan pernikahan, Untuk:
a.  Memberitahukan Kehendak Nikah
b. Pemeriksaan Pernikahan
c.  Membayar biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000
d.  Pengumuman Kehendak Nikah
e.  Mengikuti Kursus calon Pengantin sebelum akad nikah
f.  Pencatatan Nikah
  5.  Pelaksanaan Akad Nikah
a.       Penghulu memeriksa ulang terlebih dahulu tentang persyaratan dan administrasinya kepada calon pengantin dan wali, kemudian menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
b.      Penghulu menanyakan kepada calon istri di hadapan dua orang saksi, apabila dia bersedia dinikahkan dengan calon suaminya atau tidak, jika calon istri bersedia dinikahkan dengan calon suaminya, maka:
1)      Penghulu mempersilahkan walinya untuk menikahkan atau mewalikan anaknya.
2)      Jika wali mewakilkan, maka penghulu mewakilinya.
3)      Jika tidak ada wali nasab, maka calon istri meminta wali hakim untuk menjadi wali.
c.       Sebelum akad nikah dilaksanakan, dapat didahului dengan:
1)      Pembaca suci ayat Al-Quran
2)      Pembacaan/penyampaian khutbah nikah
3)      Pembacaan istigfar dan syahadatain secara bersama-sama dipimpin oleh penghulu atau oleh wali yang akan melakukan ijab
d.      Akad nikah antara wali dan calon suami
1)      Ijab
انْكَحْتُكَ وَزَوَجْتُكَ .......... ابنتي ............. بِمَهَرٍ مَذْكُوْرٍ
 “ ananda/saudara ................... saya nikahkan ....................... anak perempuan saya/saudara perempuan saya kepada engkau  dengan maskawin berupa.............................
2)      Qobul
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزَوِيْجَهَا بِمَهَرٍ مَذْكُوْرٍ
“ Saya terima nikah dan kawinnya dengan maskawin tersebut “
e.       Setelah ijab qobul dilaksanakan, penghulu menanyakan kepada saksi-saksi, apakah ijab qobulnya sudah sah atau belum. Apabila ijab qobulnya belum sah, maka proses ijab qobulnya harus di ulangi lagi, jika sudah dinyatakan sah oleh saksi-saksi, maka dibacakan :
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
f.       Pembacaan do’a
6.      Penanda tanganan surat-surat yang diperlukan
a.       Apabila akad nikah dilaksanakan di Balai Nikah maka penandatanganan oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan PPN dibubuhkan pada buku Akta Nikah (model N).
b.      Apabila akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah maka penandatanganan tersebut dibubuhkan pada halaman 4 Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).
7.      Pembacaan Ta’lik Ta’lak
a.       Setelah acara penandatanganan akta nikah, atau penandatanganan pada halaman  4 model NB selesai, segera dilanjutkan dengan pembacaan ta’lik talak oleh suami, bila suami telah menyatakan kesediaannya.
b.      Untuk tidak mengurangi kehidmatan upacara akad nikah, pembacaan ta’lik talak sebaiknya tidak memakai pengeras suara, kecuali apabila wali nikah atau keluarga mempelai menghendaki.
c.       Setelah ta’lik talak selesai dibacakan, PPN atau Penghulu yang menghadiri mempersilakan kepada suami untuk menandatangani ikrar ta’lik talak yang terdapat pada buku nikah.
d.      Apabila suami tidak bersedia mengycapkan maka tidak boleh dipaksa, tetapi harus diberitahukan kepada istri bahwa suaminya tidak mengikrarkan ta’lik talak. Meskipun tidak dibaca, kedua mempelai perlu memahami maksud ikrar ta’lik talak tersebut.
8.      Pengumuman Pernikahan Telah Selesai, Penghulu menyatakan kepada hadirin bahwa upacara akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum sebagai suami istri.
9.      Penyerahan Mahar (Maskawin)
a.       Tiap-tiap perkawinan/pernikahan menimbulkan kewajiban bagi suami untuk membayar maskawin atau mahar kepada istrinya, baik berupa perhiasan (emas), uang atau benda berharga lainnya.
b.      Setelah acara akad nikah selesai suami langsung menyerahkan maskawin kepada istrinya. Dan apabila istri tidak ikut hadir pada majelis akad nikah, maka maskawin diserahka melalui wali nikahnya.
a.       Sesaat setelah akad nikah, Penghulu segera menyerahka Buku Nikah Kepada kedua mempelai.
b.      Pada saat penyerahan Buku Nikah, agar lebih terkesan dan menggugah kedua mempelai, Penghulu mengucapkan kalimat : “Bersama ini kami serahkan Buku Nikah kepada saudara sebagai bukti bahwa perkawinan Saudara telah sah tercatat di KUA Kecamatan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar diterima dan disimpan dengan sebaik-baiknya.”

BAB III
PENUTUP

Demikianlah prosedur dalam proses melaksanakan pernikahan yang sesuai dengan syar’i dan pemerintahan yang diwakili oleh lembaga Kantor Urusan Agama (KUA) dalam proses pencatatan pernikahan bagi setiap warga negara yang melangsungkan pernikahan, hal ini sesuai dengan undang-undang pasal 2 No. 1/1974 :
(1)   Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik, maka dalam hal pernikahanpun harus mengikuti peraturan pemerintah, meskipun akad yang diselenggarakan secara syar’ipun sudah menunjukan kesahan sebauh perkawinan, namun dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, agar dalam proses menjalani kehidupan rumah tangganya bisa lebih tentran dan bisa mendapatkan hak perlindungan negara, alangkah baiknya pernikahan yang dilakukan harus sah sesuai agama dan negara.
Dalam proses pernikahan ini, ada standar prosedur operasional pendaftaran nikah, diantaranya:
  1. Calon pengantin (catin) datang ke KUA untuk mengisi formulir pendaftaran nikah
  2. Waktu pendaftaran minimal 10 hari kerja sebelum nikah
  3. Membawa keterangan surat untuk nikah (N1)
-          Surat keterangan asal usul (N2)
-          Surat persetujuan mempelai (N3)
-          Surat keterangan orang tua (N4)
-          Surat pemberitahuan kehendak nikah (N7)
( dari kantor desa/kelurahan setempat)
  1. Membawa bukti imunisasi (TT1) bagi calon pengantin wanita dari puskesmas atau rumah sakit setempat
  2. Membawa :
a.       Pas foto ukuran 3x2 cm sebanyak 3 lembar
b.      Surat izin pengadilan bagi yang belum berusia 21 tahun dan bila tidak ada izin dari orang tua/wali
c.       Dispensasi dari pengadila bagi calon suami yang belum berusia 19 tahun dan istri 16 tahun
d.      Surat izin dari atasan/kesatuan, jika catin anggota TNI/POLRI
e.       Surat izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang
f.       Akta cerai/talak bagi yang telah bercerai
g.      Surat kematian dari desa/lurah setempat (bagi yang ditinggal mati suami/istri)
  1. Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin
  2. Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu
  3. Penghulu menyerahkan buku akta nikah kepada pengantin setelah akad nikah
  4. Membayar biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 600.000 (jika pernikahan dilaksanakan di luar balai pernikahan)



Daftar Isi


  1. Wawancara dengan penghulu KUA Kec. Banjar - Kota Banjar
  2. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
  3. https://indahnyamenikah.wordpress.com/2013/04/30/proses-pengurusan-dan-pelaksanaan-akad-nikah-di-kantor-urusan-agama-kua/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar