KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kepada dzat yang maha mengatur segala urusan. Shalawat dan Salamnya
senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasululloh sollallohu 'alaihi wa
sallam. selanjutnya, kami haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat Bapak H. Wahidin, S.Ag., M.Pd.I. selaku dosen pengampu yang
telah membimbing kami dan menyampaikan materi pelajaran pada mata kuliah
Manajemen Administrasi KUA di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis,
semoga ilmu yang kami dapatkan bermanfa'at dan penuh dengan keberkahan.
Makalah yang kami susun
ini, disampaikan sebagai salah satu tugas mata kuliah Manajemen Administrasi
KUA Semester IV. Tentunya dalam penyajian makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu kami harapkan kritik dan saran untuk perbaikannya.
Ciamis, Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kantor Urusan Agama (KUA)
merupakan kelembagaan yang penting dalam konteks manajemen pengembangan umat
Islam Indonesia.KUA merupakan lembaga di Kementerian Agama tingkat kecamatan
yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat Muslim.Kantor inilah yang
memberikan pelayanan kepada umat Islam dalam urusan perkawinan dan pembinaan
keluarga Muslim agar menjadi keluarga sakinah. Di samping itu, kantor ini
–bersama-sama dengan Pengadilan Agama sebagai partner– juga memberikan
pelayanan talak, rujuk, dan masalah waris. Bahkan masalah pembinaan umat secara
umum, kantor ini memiliki kewenangan untuk terlibat, seperti ibadah haji,
pendidikan agama dan keagamaan, serta kerukunan umat beragama. Dilihat dari
posisinya yang demikian, dapat diperkirakan bahwa kedudukan KUA sangat
strategis dalam pembinaan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim secara
luas.
Dewasa ini jumlah KUA yang
tersebar di sejumlah kecamatan di Indonesia sebanyak 5.035 buah.Jumlah tersebut
telah mengalami pemekaran sejalan dengan pemekaran kecamatan.Seperti diketahui
Kementerian Agama telah melakukan dua kali pemekaran KUA.Pertama, pada tahun
2006 Kementerian Agama membentuk 149 KUA kecamatan.Hal ini sesuai dengan
Keputusan Menpan Nomor B/1358/PAN/05/2006.Kedua, pada tahun 2007 Kementerian
Agama membentuk 175 KUA Kecamatan, dengan persetujuan Menpan No.
B/2143/M.PAN/09/2006. Dengan pemekaran tersebut jumlah KUA mencapai angka yang
telah disebutkan.Sebenarnya, usulan pemekaran KUA masih banyak.Akan tetapi,
sampai sejauh ini hanya 324 yang dapat dipenuhi.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Administrasi pencatatan Akta Nikah ?
2. Bagaimana Alur Berkas Pendaftaran Nikah ?
3. Bagaimana Model – Model Berkas Pernikahan ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Bagaimana Administrasi pencatatan Akta Nikah ?
2. Mengetahui Bagaimana Alur Berkas Pendaftaran Nikah ?
3. Mengetahui Bagaimana Model – Model Berkas Pernikahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Administrasi Pencatatan Akta Nikah
Sebagaimana diketahui berdasarkan UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan dalam pasal 2 ayat (2): Tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata
lain perkawinan disebut sah bila dicatat oleh negara. Bagi umat Muslim
pencatatan perkawinan dilakukan oleh KUA. Hal ini juga ditegaskan dalam
Peraturan Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebuah
produk hukum yang sering dijadikan referensi hukum bagi KUA Muslim Indonesia.
Amanah peraturan ini semakin menambah peran KUA lebih strategis dalam
memberikan layanan kepada masyarakat atau sering dikenal dengan layanan publik.
Untuk lebih meningkatkan
pelayanan, sejak beberapa tahun terakhir ini Kementerian Agama menekankan
pentingnya standar pelayanan kepada masyarakat oleh KUA, yang disebut dengan
pelayanan prima. Pelayanan prima harus menjadi tujuan dan target dari para
pejabat KUA. Sebagai institusi yang langsung berhubungan dengan masyarakat, KUA
diharapkan dapat memberikan pelayanan memuaskan.Pelayanan prima oleh
pemerintah, termasuk KUA merupakan bagian dari upaya mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governace).Selain itu, pelayanan prima juga
merupakan tuntutan dari perubahan global terhadap institusi-institusi publik
tersebut.Pelayanan prima menjadi tolok ukur keberhasilam instansi-instansi
pemerintah dalam melayani stakeholder-nya.Kegagalan institusi dalam memberikan
pelayanan terbaik, berarti mengindikasikan adanya kesalahan manajerial.
Dalam hal pelayanan publik
pencatatan perkawinan tantangan yang sedang dihadapi oleh KUA adalah menepis
tuduhan yang menyatakan bahwa biaya pencatatan nikah mahal.Sehingga, tidak
setiap kelompok masyarakat dapat menjangkaunya.
Sementara pihak KUA`menyatakan
bahwa biaya pencatatan nikah dan rujuk – biasa disingkat NR – secara formal
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2000 dengan besaran Rp
30.000,00 per peristiwa. Uang yang masuk dari masyarakat ini dikategorikan
sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kantor urusan agama (KUA)
kecamatan dan harus disetor seluruhnya ke kas negara. Atas izin Menteri
Keuangan, setoran yang masuk dapat digunakan kembali oleh Kementerian Agama
dalam hal ini KUA maksimal 80%.
Biaya pencatatan NR yang
ditetapkan dalam PP tersebut adalah biaya pencatatan atas peristiwa NR yang
terjadi di KUA, sedangkan biaya pencatatan peristiwa yang dilangsungkan di luar
KUA (biasa disebut dengan “bedolan”) tidak diatur dalam PP tersebut.Di sinilah
mulai muncul persoalan. Biaya bedolan, selama ini diatur oleh kepala Kanwil
Kementerian Agama provinsi dengan persetujuan gubernur yang nominalnya tentu
berbeda antara satu daerah satu dengan daerah lain. Kewenangan pengaturan ini
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 298 Tahun 2003. Menindak-lanjuti
peraturan tersebut, selanjutnya melalui Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun
2004 tentang Peningkatan Pelayanan pada KUA dinyatakan bahwa KUA kecamatan
tidak diperbolehkan memungut biaya tambahan terhadap biaya bedolan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Belakangan, oleh aparat pengawas
biaya ini dipersoalkan, karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang, alias liar. Oleh karena itu, maka Kementerian Agama- saat itu
masih disebut Departemen Agama- melalui Keputusan Menteri Agama RI No. 104 tahun
2007 tentang Pencabutan Instruksi Menteri Agama No. 2 tahun 2004 telah mencabut
semua biaya tambahan untuk pencatatan perkawinan kecuali yang diatur oleh PP
no. 51 tahun 2000 dan ditegaskan kembali dengan PP no. 47 tahun 2004 yakni
sebesar Rp. 30.000,-
Regulasi ini mengundang
kontroversi. Bagi mereka yang setuju dengan masih diperbolehkannya biaya
bedolan menyatakan bahwa dana bedolan itu amat diperlukan selain untuk biaya
transport yang hendak menikahkan sepasang mempelai di luar balai nikah KUA, dana
bedolan sangat membantu kepentingan umat, terutama untuk biaya operasional
lembaga-lembaga yang secara non struktural berada di KUA, yakni Badan
Kesejahteraan Masjid, Lembaga Pembinaan Pengamalan Agama, Badan Penasihat
Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian atau BP4, dan Badan Administrasi Dana
Kerohanian Islam.
Mengapa sampai terjadi peristiwa
bedolan? Ini karena permintaan masyarakat itu sendiri yang menghendaki adanya
pernikahan di luar kantor (KUA), bahkan di luar hari kerja. Untuk mengawasi dan
mencatat peristiwa nikah sesuai tugas dan fungsinya, PPN atau pembantu PPN
memerlukan tambahan transport dan biaya-biaya lainnya.Oleh aparat pengawas,
pungutan-pungutan inilah yang dinilai liar dan perlu ditertibkan.Alasannya,
karena pemungutan ini tidak memiliki payung hukum yang memadai. Kenyataan
inilah yang kemudian melahirkan pendapat bahwa biaya pencatatan nikah harus
dikembalikan pada regulasi yang ada yakni sebesar Rp.30.000,-, bahkan bila
memungkinkan biaya harus ditanggung oleh negara, sebagai bentuk pemenuhan hak
sipil bagi setiap warga negara.
Berbagai kepentingan di atas
mensiratkan bahwa ada yang tidak linear antara norma (regulasi) dan kebutuhan,
antara idealisme dan kenyataan di lapangan, antara kemampuan keuangan negara
dan peningkatan pelayanan. Persoalan ini yang kemudian diangkat dalam sebuah
penelitian oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta pada tahun 2011
di berbagai wilayah: Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan,
Jawa Barat dan DKI Jakarta.
B.
Realitas Di Lapangan
• Besaran biaya
Sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 51 tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, biaya
pencatatan nikah adalah sebesar Rp. 30.000 (tiga puluh ribu rupiah). Jika
disesuaikan dengan kondisi saat ini tentulah sudah tidak memadai apalagi bila
peristiwa nikah ini dilaksanakan di luar balai nikah (LBN), dan dalam waktu di
luar jam kerja.
Kepala KUA atau penghulu
menghadapi dilema dalam hal penetapan biaya pencatatan nikah ini.Di satu sisi,
KUA ingin memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sehingga masyarakat
pengguna KUA selain mendapat pelayanan tepat waktu saat pencatatan nikah, juga
saat penyerahan buku akta nikah.Namun, di sisi lain Kepala KUA dan penghulu
menghadapi kendala dalam hal biaya operasional terutama biaya transportasi
menuju tempat berlangsungnya pernikahan.
Selama ini, anggaran operasional
KUA yang diperoleh dari DIPA Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota sebesar
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah perbulan) dan tidak ada alokasi untuk biaya
transportasi, sehingga bila masyarakat pengguna tidak memberikan biaya tambahan
di luar biaya pencatatan sebesar Rp. 30.000,- tentu saja biaya transportasi
harus ditanggung sendiri oleh Kepala KUA atau penghulu. Selain itu, Kepala KUA
atau penghulu tidak memperoleh kompensasi atas waktu dan tenaga yang dicurahkan
dalam melayani masyarakat di luar kantor dan di luar jam kerja. Kenyataan
seperti ini tentu akan mempengaruhi kinerja penghulu atau kepala KUA.
Pada hampir semua KUA sasaran,
kepala KUA pada prinsipnya tidak pernah memasang tarif biaya pencatatan nikah
di luar pungutan resmi sebesar Rp.30.000,-. Bila ada masyarakat yang memberi
lebih dari tarif tersebut lebih karena keikhlasan dan kesadaran masyarakat
pengguna. Dari sisi logika, dana Rp.30.000 –ini pun harus disetor ke kas negara
sebagai PNPB- tidak cukup dapat mengantarkan penghulu atau kepala KUA tiba di
tempat mempelai yang sedang berhajat. Karena, biaya transport yang harus
dikeluarkan dari tempat kedudukan KUA hingga mencapai tempat dilangsungkan
nikah rata-rata membutuhkan Rp.50.000,-
Untuk mengatasi hal ini,
masyarakat dengan penuh kesadaran memberikan biaya tambahan untuk menutup
ongkos transportasi. Besarannya cukup bervariasi antara Rp 100.000 hingga
Rp.500.000,-, namun pada kasus tertentu mungkin jumlahnya melebihi angka
tersebut. Seperti ditemukan di kota Banda Aceh, terutama bagi masyarakat yang
menggunakan jasa orang lain untuk pengurusan persyaratan administratif. Di kota
Medan orang yang biasa melakukan jasa ini dikenal dengan istilah kepling
(kepala lingkungan).
Hal yang sama juga pada KUA di
sebuah kecamatan di kota Pekanbaru, yang pernah menerima uang Rp. 5.000.000,-
(lima juta rupiah) dari salah seorang masyarakat. Uang sebesar ini pun tidak
digunakan untuk kepentingan pribadi saja, melainkan juga dikontribusikan ke kas
KUA untuk menutup kegiatan operasional KUA. Seperti diketahui, sebagaimana
diatur dalam pasal 2 KMA no. 477 tahun 2004, tugas kepala KUA meliputi: 1)
menyelenggarakan statistik dokumentasi, 2). Menyelenggarakan surat menyurat,
pengurusan surat, kearsipan dan rumah tangga KUA, 3). Melakukan pembinaan kepenghuluan,
keluarga sakinah, ibadah sosial, pangan halal, kemitraan, zakat, wakaf, ibadah
haji dan kesejahteraan keluarga, 4) mengatur pola kerja penghulu yang berada di
lingkungan wilayah kerjanya. Selain untuk membantu operasional KUA, uang
tersebut disimpan sebagai tabungan yang dapat digunakan sebagai uang THR
pegawai.
Besaran biaya yang diberikan oleh
masyarakat mungkin terkesan “mahal”, padahal biaya tersebut tidak hanya untuk
ongkos transportasi saja, melainkan juga kompensasi bagi petugas karena telah
menggunakan waktu libur untuk melayani masyarakat. Biaya yang diberikan oleh
masyarakat tersebut juga sebagian sebagai “uang lelah” petugas yang telah
memberikan khutbah nikah, memimpin upacara serta menutupnya dengan doa. Untuk
sekedar diketahui, dalam tradisi dan adat Melayu Riau, upacara adat pernikahan
dirasa tidak afdol bila tidak dihadiri oleh petugas KUA dari awal hingga akhir
prosesi.
Temuan menarik juga diperoleh di
Bogor, bahwa variasi besaran tarif pencatatan nikah sangat ditentukan oleh kondisi
sosial ekonomi masyarakat.Dalam hal ini ada beberapa tipologi kelas sosial
masyarakat.Besarannya banyak ditentukan oleh P3N di lapangan.
P3N adalah sebagai Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah.Mereka biasa melakukan pendekatan kepada
keluarga-keluarga calon pengantin (Catin) untuk menawarkan jasa sekaligus
menentukan besaran biaya pengurusan pernikahan di KUA setempat.
Di wilayah yang taraf kehidupannya
di bawah rata-rata (menengah kebawah) biaya pendaftaran nikah berkisar Rp
300.000.- s.d. Rp.400.000,-. Sedangkan di wilayah yang taraf sosial tergolong
di atas menengah, biaya tersebut berkisar antara Rp. 400.000,- s.d. Rp.
800.000,- bahkan bisa mencapai jutaan rupiah. Bagi masyarakat bawah, seperti
pedagang buah, tukang parkir, pengojek, pedagang kue, tukang sayur, besaran
biaya 300 ribu rupiah, mereka akui, sebenarnya agak memberatkan. Sementara bagi
kalangan ”atas” seperti keluarga-keluarga yang berprofesi sebagai pengusaha
menegah ke atas, dan sebagainya, besaran biaya pencatatan nikah Rp. 1.000.000,-
an tidak dimasalahkan.
Realita yang hampir sama yang
menyebutkan bahwa terdapat tarif pencatatan nikah yang tidak sama dengan yang
diatur dalam regulasi ditemukan di dua KUA di kecamatan Sumatera Selatan.
Yakni, bahwa biaya pencatatan nikah bila dilaksanakan di KUA besarnya
Rp.350.0000 sedangkan bila dilakukan diluar balai nikah KUA sebesar Rp.
500.000,-
Sementara di wilayah DKI Jakarta,
ditemukan bahwa pencatatan nikah berada dalam rentang Rp.150.000 –
Rp.1.000.000,-. Jumlah ini diperuntukkan tidak saja untuk biaya administrasi,
tetapi juga sebagai “uang kerahiman”, yakni kompensasi biaya transportasi serta
uang lelah, karena biasanya pernikahan dilakukan di luar jam kerja. Pada saat
pelaksanaan pernikahan, tugas penghulu tidak sekedar mencatat peristiwa nikah,
namun juga melakukan layanan tambahan, seperti memberikan khutbah nikah,
pembacaan doa, hingga menutup acara.
Uang kerahiman, tidak semata-mata
diterima oleh penghulu/ pencatat nikah, namun pada kala tertentu “disumbangkan”
ke kantor untuk “menambal” biaya operasional KUA yang selalu mengalami defisit
setiap bulannya. Jika melihat tupoksi KUA yang sangat banyak, dana operasional
Rp.1.000.000/bln memang kurang memadai, belum lagi bila ditambah dengan
tugas-tugas lain di luar tupoksi yang anggarannya tidak tercantum dalam DIPA.
C.
Alur Berkas Pendaftaran
Calon Pengantin datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
masing-masing, untuk mendapatkan:
a. Konsultasi Pendaftaran
b.
Meminta dan Mengisi blangko model N1, N2, N3, N4, N5, N6, dan N7
c.
Surat-surat lain yang dibutuhkan
2. Calon Pengantin Wanita Datang
ke Bidan atau Puskesmas Untuk Imunisasi TT
3. Calon Pengantin Datang ke
Kantor Desa atau Kelurahan untuk mengesahkan:
a.
Surat keterangan untuk kawin (N1)
b.
Surat keterangan asal usul (N2)
c.
Surat persetujuan calon mempelai (N3)
d.
Surat keterangan tentang orang tua (N4)
e.
Surat keterangan suami atau istri (6) bagi duda/janda yang ditinggal
mati
4. Calon Pengantin bersama wali
Datang Lagi ke Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi dengan membawa
berkas-berkas persyaratan pernikahan, Untuk:
a.
Memberitahukan Kehendak Nikah
b. Pemeriksaan Pernikahan
c.
Membayar biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000
d.
Pengumuman Kehendak Nikah
e.
Mengikuti Kursus calon Pengantin sebelum akad nikah
f.
Pencatatan Nikah
5. Pelaksanaan Akad Nikah
a.
Penghulu memeriksa ulang
terlebih dahulu tentang persyaratan dan administrasinya kepada calon pengantin
dan wali, kemudian menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
b.
Penghulu menanyakan
kepada calon istri di hadapan dua orang saksi, apabila dia bersedia dinikahkan
dengan calon suaminya atau tidak, jika calon istri bersedia dinikahkan dengan
calon suaminya, maka:
1)
Penghulu mempersilahkan walinya
untuk menikahkan atau mewalikan anaknya.
2)
Jika wali mewakilkan,
maka penghulu mewakilinya.
3)
Jika tidak ada wali
nasab, maka calon istri meminta wali hakim untuk menjadi wali.
c.
Sebelum akad nikah
dilaksanakan, dapat didahului dengan:
1)
Pembaca suci ayat Al-Quran
2)
Pembacaan/penyampaian
khutbah nikah
3)
Pembacaan istigfar dan
syahadatain secara bersama-sama dipimpin oleh penghulu atau oleh wali yang akan
melakukan ijab
d.
Akad nikah antara wali
dan calon suami
1)
Ijab
انْكَحْتُكَ
وَزَوَجْتُكَ .......... ابنتي ............. بِمَهَرٍ مَذْكُوْرٍ
“ ananda/saudara
................... saya nikahkan ....................... anak perempuan
saya/saudara perempuan saya kepada engkau
dengan maskawin berupa.............................
2)
Qobul
قَبِلْتُ
نِكَاحَهَا وَتَزَوِيْجَهَا بِمَهَرٍ مَذْكُوْرٍ
“ Saya terima nikah dan kawinnya dengan maskawin tersebut “
e.
Setelah ijab qobul
dilaksanakan, penghulu menanyakan kepada saksi-saksi, apakah ijab qobulnya
sudah sah atau belum. Apabila ijab qobulnya belum sah, maka proses ijab
qobulnya harus di ulangi lagi, jika sudah dinyatakan sah oleh saksi-saksi, maka
dibacakan :
بَارَكَ اللهُ
لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
f.
Pembacaan do’a
6.
Penanda tanganan
surat-surat yang diperlukan
a.
Apabila akad nikah
dilaksanakan di Balai Nikah maka penandatanganan oleh suami, istri, wali, dua
orang saksi dan PPN dibubuhkan pada buku Akta Nikah (model N).
b. Apabila akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah maka
penandatanganan tersebut dibubuhkan pada halaman 4 Daftar Pemeriksaan Nikah
(model NB).
7.
Pembacaan Ta’lik Ta’lak
a.
Setelah acara
penandatanganan akta nikah, atau penandatanganan pada halaman 4 model NB selesai, segera dilanjutkan dengan
pembacaan ta’lik talak oleh suami, bila suami telah menyatakan kesediaannya.
b.
Untuk tidak mengurangi kehidmatan
upacara akad nikah, pembacaan ta’lik talak sebaiknya tidak memakai pengeras
suara, kecuali apabila wali nikah atau keluarga mempelai menghendaki.
c.
Setelah ta’lik talak
selesai dibacakan, PPN atau Penghulu yang menghadiri mempersilakan kepada suami
untuk menandatangani ikrar ta’lik talak yang terdapat pada buku nikah.
d.
Apabila suami tidak
bersedia mengycapkan maka tidak boleh dipaksa, tetapi harus diberitahukan
kepada istri bahwa suaminya tidak mengikrarkan ta’lik talak. Meskipun tidak
dibaca, kedua mempelai perlu memahami maksud ikrar ta’lik talak tersebut.
8.
Pengumuman Pernikahan
Telah Selesai, Penghulu menyatakan kepada hadirin bahwa upacara akad nikah
telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum sebagai suami istri.
9.
Penyerahan Mahar (Maskawin)
a.
Tiap-tiap
perkawinan/pernikahan menimbulkan kewajiban bagi suami untuk membayar maskawin
atau mahar kepada istrinya, baik berupa perhiasan (emas), uang atau benda
berharga lainnya.
b.
Setelah acara akad nikah
selesai suami langsung menyerahkan maskawin kepada istrinya. Dan apabila istri
tidak ikut hadir pada majelis akad nikah, maka maskawin diserahka melalui wali
nikahnya.
a.
Sesaat setelah akad
nikah, Penghulu segera menyerahka Buku Nikah Kepada kedua mempelai.
b.
Pada saat penyerahan
Buku Nikah, agar lebih terkesan dan menggugah kedua mempelai, Penghulu
mengucapkan kalimat : “Bersama ini kami serahkan Buku Nikah kepada saudara
sebagai bukti bahwa perkawinan Saudara telah sah tercatat di KUA Kecamatan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar diterima dan
disimpan dengan sebaik-baiknya.”
BAB III
PENUTUP
Demikianlah
prosedur dalam proses melaksanakan pernikahan yang sesuai dengan syar’i dan
pemerintahan yang diwakili oleh lembaga Kantor Urusan Agama (KUA) dalam proses
pencatatan pernikahan bagi setiap warga negara yang melangsungkan pernikahan,
hal ini sesuai dengan undang-undang pasal 2 No. 1/1974 :
(1)
Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)
Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh sebab
itu, sebagai warga negara yang baik, maka dalam hal pernikahanpun harus
mengikuti peraturan pemerintah, meskipun akad yang diselenggarakan secara
syar’ipun sudah menunjukan kesahan sebauh perkawinan, namun dalam menjalani
kehidupan berbangsa dan bernegara, agar dalam proses menjalani kehidupan rumah
tangganya bisa lebih tentran dan bisa mendapatkan hak perlindungan negara,
alangkah baiknya pernikahan yang dilakukan harus sah sesuai agama dan negara.
Dalam proses
pernikahan ini, ada standar prosedur operasional pendaftaran nikah,
diantaranya:
- Calon pengantin (catin) datang ke KUA untuk mengisi
formulir pendaftaran nikah
- Waktu pendaftaran minimal 10 hari kerja sebelum nikah
- Membawa keterangan surat untuk nikah (N1)
-
Surat keterangan asal
usul (N2)
-
Surat persetujuan
mempelai (N3)
-
Surat keterangan orang
tua (N4)
-
Surat pemberitahuan
kehendak nikah (N7)
( dari kantor
desa/kelurahan setempat)
- Membawa bukti imunisasi (TT1) bagi calon pengantin
wanita dari puskesmas atau rumah sakit setempat
- Membawa :
a.
Pas foto ukuran 3x2 cm
sebanyak 3 lembar
b.
Surat izin pengadilan
bagi yang belum berusia 21 tahun dan bila tidak ada izin dari orang tua/wali
c.
Dispensasi dari
pengadila bagi calon suami yang belum berusia 19 tahun dan istri 16 tahun
d.
Surat izin dari
atasan/kesatuan, jika catin anggota TNI/POLRI
e.
Surat izin pengadilan
bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang
f.
Akta cerai/talak bagi
yang telah bercerai
g.
Surat kematian dari
desa/lurah setempat (bagi yang ditinggal mati suami/istri)
- Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin
- Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu
- Penghulu menyerahkan buku akta nikah kepada
pengantin setelah akad nikah
- Membayar biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 600.000
(jika pernikahan dilaksanakan di luar balai pernikahan)
Daftar Isi
- Wawancara dengan penghulu KUA Kec. Banjar - Kota
Banjar
- http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
- https://indahnyamenikah.wordpress.com/2013/04/30/proses-pengurusan-dan-pelaksanaan-akad-nikah-di-kantor-urusan-agama-kua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar